Jumat, 18 Desember 2009

Kuliah Lagi Demi Status Yang Jelas




Guru Sukarela Itu Dapat “Hadiah” Rp 100.000/Triwulan Dari Kepala Sekolah

Teks foto: Suasana tutorial mahasiswa UT di Pangkajene, Sulawesi Selatan. Mahasiswa yang hampir semuanya guru berjuang untuk meraih gelar sarjana (S-1) demi mengembangkan potensi diri dan status.


Raut wajah puluhan perempuan dan lelaki berusia 40 hingga 50-an tahun, yang duduk di bangku kayu berukuran dua orang, tampak serius mendengarkan paparan soal matematika. Semilir angin spoi yang masuk lewat sela-sela daun jendela seakan mengurangi hawa panas di dalam ruang kelas yang sesak.
Puluhan guru muda yang kuliah di UT (Universitas Terbuka) atas inisiatif sendiri atau dikuliahkan pemerintah di Kabupaten Pangkajene, Sulsel, itu tetap bersemangat meraih gelar sarjana pendidikan.
Selama tiga semester atau menejlang dua tahun, guru-guru SD yang sudah sarat pengalaman mengajar di Tanah Selebes itu melakoni belajar secara mandiri, lalu beberapa kali tutorial atau kuliah tatap muka di UT yang dipusatkan di SMPN 2 Pangakajene.
Keterbatasan sarana belajar karena umumnya hanya mengandalkan modul, tidak menghalangi mereka untuk terus belajar. Mereka patut bersyukur, karena para tutor bergelar doctor “diambil” dari universitas negeri terkemuka, seperti Drs. Mukhlis, M.Pd, dari UNM (Universitas Negeri Makasar). Tutor dari perguruan tinggi terkemuka sudah tentu dapat diandalkan untuk membantu proses itu.
Sudirman (29), guru sukarela di SD Kampung Tondang Kuro, harus menempuh jarak sekitar 30 km untuk mengikuti tutorial atau ujian di kota Kabupaten Pangkajene. Perjalanan satu jam atau lebih itu tidak mudah karena taksi (angkutan umum) tidak selalu tersedia. Lebih sering mengendarai sepeda motor.
Namun, Sudirman yang sudah dua tahun jadi guru sukarela, berusaha tidak absen dari jadwal bertatap muka dengan tutor (istilah dosen di UT). ”Sekarang saya sudah di semester 8. Mudah-mudahan gelar sarjana, S-1, mampu saya raih, demi status yang jelas,” ujar ayah seorang putra nyaris tak terdengar, sesaat seusai mengikuti tutorial di gedung SMPN 2, Pangkajene.
“Kadang-kadang materi yang sedang dipelajari semakin jelas jika dibahas secara langsung dengan tutor,” ujar Sudirman yang kuliah atas inisiatif sendiri.
Pertemuan dengan tutor minimal 8 kali per semester. Selebihnya, belajar sendiri dari buku atau kaset atau VCD. Pria berperawakan mungil itu bertekad untuk meraih gelar sarjana (S-1) dengan satu tujuan, agar statusnya menjadi jelas dan hidup lebih terjamin. Betapa tidak, selama dua tahun mengajar secara sukarela, dia memperoleh “hadiah” dari kepala sekolah tempatnya mengajar sebesar Rp 100.000 untuk tiga bulan.
Padahal setiap hari dia harus menyeberang sungai di desanya, Manyampa, untuk mengajar di sebuah SD kecil.
Untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, Sudirman memang bertani.
Suryani (27), mengajar di SD yang lebih terpencil lagi dari Sudirman.
Gadis belia ini sekolahan tempatnya mengajar dekat perbatasan dengan Kabupaten Watampone, atau sekitar 50 km dari kota Kabupaten Pangkajene. Namun statusnya lebih baik, yakni honorer, sudah 2,5 tahun.
Suryani mengatakan, keinginannya dan rekan sejawatnya di daerah untuk pengembangan diri sangat kuat. Dia mengaku bersyukur pemerintah daerah memfasilitasi sehingga banyak guru bisa terus mengembangkan diri. Meskipun tidak mudah.
”Untuk bisa kuliah S-1 misalnya, tidak mudah. Selain keuangan yang berat jika membiayai sendiri, di daerah terpencil tidak ada perguruan tinggi kependidikan. Untungnya pemerintah ada kasih beasiswa,” kata Suryani.
Dia sebelumnya juga jadi guru sukarela selama 4 tahunan. Berkat ketekunannya, Suryani pernah dapat gaji khusus guru terpencil sebanyak 4 (empat kali) masing-masing Rp 5 juta. Dapat beasiswa dari UT (Universitas Terbuka) sudah empat kali masing-masing Rp 1 juta /semester.
Baik Sudirman maupun Suryani, dan guru-guru lainnya sependapat bahwa usaha kerasnya dalam mengembangkan kualitas dirinya selain ingin menggapai status yang lebih baik, juga supaya bisa menghasilkan anak-anak didik yang lebih baik.
Akhyar dan Muhammad Rusdi, Pengurus Pokjar (Kelompok Belajar) Pangkep (Pangkajene Kepulauan) mengatakan, tantangan meningkatkan kualifikasi akademik guru di daerah ini cukup berat. ”Perkuliahan di UT cukup membantu karena penyelenggaraannya bisa disesuaikan keadaan di sini,” kata Akhyar.
Kondisi guru-guru di daerah yang minim dalam pengembangan diri tersebut sejalan dengan temuan Tim Pemantauan TTM (Tutorial Tatap Muka) Program Pendas sebelumnya, yang dibentuk Rektorat UT Pusat.
”Guru tidak bisa lagi diabaikan. Berbicara soal guru, tidak semata-mata soal peningkatan kesejahteraan. Peningkatan mutu mereka dalam pembelajaran juga sama pentingnya. Kondisi itu bisa dicapai dengan pelatihan yang berkesinambungan dan tanpa henti untuk semua guru, jadi jangan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Para guru itu sebenarnya haus menimba ilmu yang terus berkembang,” kata Rektor UT, Prof. Ir. Tian Belawati, yang meneruskan program rector sebelumnya. DJO