Rabu, 09 September 2009

Polusi Kota Jakarta Terburuk Ketiga Di Dunia

Pemerintah DKI Bisa Digugat

Jakarta yang dijuluki kota Megapolitan menyimpan berbagai problem lingkungan, salah satunya adalah pencemaran udara.
WHO menempatkan kota Jakarta pada urutan ke tiga setelah Meksiko dan Thailand sebagai kota paling tercemar udaranya.
"Tidak berlebihan kalau kita bilang Jakarta kita bilang sebagai kota polusi karena, begitu kita keluar dari rumah kita akan langsung berhadapan dengan polusi," kata Direktur Executive Walhi DKI Jakarta, Ubaydillah, dala acara diskusi "Fenomena Hutan Beton dan Polusi" di Jakarta, Rabu (9/9).
Menurut dia, dampak polusi udara terhadap kesehatan rakyat juga belum mendapatkan perhatian serius. Padahal biaya untuk pengobatan penyakibat akibat polusi udara yang dikeluarkan warga Jakarta mencapai Rp 1,8 triliun (1998) dan angka ini akan membengkak menjadi Rp 4,3 triliun pada 2015.
Pemprov DKI Jakarta jelas-jelas tidak mampu memenuhi penambahan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) di ibukota, seperti yang diamanatkan dalam UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang dan Wilayah.
Ubaydillah mengatakan, dalam penataan ruang perlu jaminan atas berfungsinya pelayanan alam dan keselamatan masyarakat (ekologis) dan menjamin fungsi-fungsi social pembangunan.
‘’Bukan malah menggusur pedagang kaki lima atau masyarakat miskin dengan dalih untuk kepentingan RTH, seperti Taman BMW Tanjung Priok, Waduk Rio-rio Pulau Gadung, Pasar Keramik Rawasari dan Taman Barito. Tapi di lain pihak, sejumlah lahan parkir beralih fungsi menjadi ruang komersil, kantor pemerintah, apartemen, hotel dan perkantoran bisnis, justru tidak ditindak,’’ papar Ubaidillah.
Menurut dia, kalau pemerintah DKI Jakarta tidak mampu mengatasi dan mengendalikan pencemaran udara, masyarakat bisa saja melakukan gugatan (class action).
Pada kesempatan yang sama, Dosen Arsitektur Lanskap Universitas Trisakti, Jakarta, Iwan Ismaun mengatakan, Jakarta terlambat untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan perkotaan, terutama yang menyangkut kualitas udara. Karena, sudah 20 tahun terakhir Jakarta berkembang menjadi kota metropolitan yang sekaligus menjadi salah satu kota berpolusi udara tinggi.
"Berbagai polutan udara seperti Carbon Monoksida, Nitrogen Oxida, Hidrokarbon, Sulfur Oxida dan partikel atau debu telah memenuhi udara kota Jakarta," katanya.
Menurut Iwan, dari hasil kajian akademis yang telah dilakukan, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas buang terbesar di Jakarta, terutama Carbon Monoksida, yaitu sebesar 92 persen. Disusul oleh sektor industri (5 persen), pemukiman (2 persen), dan sampah (1 persen).
Iwan mengatakan, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode LEAP (Long Range Energy Alternative Planning) dan laju pertumbuhan sektor transportasi dengan mempertimbangkan jumlah permintaan, tingkat emisi Carbon Monoksida di Jakarta pada tahun 2015 dapat mencapai 38.322,46 ton per hari.
Karenanya, untuk menetralisir polusi tersebut pemerintah DKI, menurutnya, harus mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan memperluas RTH yang berfungsi menyerap polusi udara dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas udara kota.
"DKI Jakarta dengan luas 65.000 hektar seharusnya mempunyai RTH minimal seluas 19.500 hektar atau 30 persen dari luas wilayah untuk keseimbangan ekosistem kota," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar