Selasa, 01 September 2009

Ruang Terbuka Hijau Jakarta Versus Kepentingan Bisnis, Siapa Menang?

Saatnya, para elit ekonomi politik Jakarta beradaptasi dengan strategi bisnis yang lebih ramah lingkungan.

Ruang Terbuka Hijau Jakarta, tinggal sekitar 9 (sembilan) persen dari 650 Kilometer persegi, luas Jakarta. Sisanya, beralih menjadi hutan beton dan 80 persen udara Jakarta dipenuhi gas beracun. Karenanya, tidak mengherankan bila Organisasi Kesehatan Dunia 2006 menilai bahwa kualitas udara Jakarta, terburuk ketiga setelah Meksiko City dan Bangkok.

Mengapa bisa terjadi?.

''Master plan (RTRW) Jakarta dari satu periode ke periode mengalami perubahan yang signifikan,'' kata

Ir. Nirwono Yoga, Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia, dalam diskusi bertajuk ''Ruang Terbuka Hijau Jakarta versus Kepentingan Bisnis'' di Jakarta, Kamis siang (27/8).

Menurut dia, RTRW 2010 yang segera berakhir, lebih fokus pada pembangunan kawasan untuk menggerakkan roda perekonomian. Namun belakangan fakta menyatakan bahwa entitas pemprov tak ubahnya lembaga yang cenderung lebih memfasilitasi kepentingan ekonomi politik elit masyarakat dan menafikan keberadaan majoritas masyarakat sisanya.

Dalam Rencana Induk Djakarta 1965 -1985, ruang terbuka hijau (green belt) dialokasikan seluas 37, 2 persen. Luasan RTH pada wilayah kota ini sangat sesuai dengan standar kesepakatan KTT Bumi di Rio De Jainairo (1992) dan dipertegas lagi dalam KTT Bumi di Johannesburg (2002). Proporsi RTH ditetapkan paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota atau disesuaikan dengan kondisi geografis wilayah kota itu sendiri. Dengan demikian, proporsi ruang publik ditetapkan paling sedikit di atas proporsi yang dialokasikan untuk RTH tersebut.

Namun, dalam Perda No. 5 Tahun 1984, Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005, alokasi RTH menyusut menjadi 25,85 persen. Kikisan RTH ini kian tajam lagi, karena dalam dalam Perda No. 6 Tahun 1999, Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000 - 2010, target RTH hanya disisakan seluas 13,4 persen. Dan, fakta terkini, RTH Jakarta tinggal 9 persen. Artinya, selama 25 tahun (1985 – 2010), RTH Jakarta ‘terkikis’ seluas 28,2 persen.

Kritis memang, karena bagian daerah yang semula diperuntukkan sebagai paru-paru kota dan daerah konservasi air, kini telah didominasi kelompok pemilik modal dengan hutan betonnya. Akibatnya, kualitas udara di DKI Jakarta sebesar 80 persen dipenuhi gas beracun seperti: gas karbon dioksida (CO2), sulfur oksida (SOx), ozon, nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO) dan timbal (Pb). Kualitas udara yang buruk juga disebabkan oleh tumbuhnya pabrik-pabrik dan gudang-gudang di kota Jakarta yang tidak lagi memenuhi ketentuan amdal.

Manajemen spontanitas, itulah gaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mengelola kota. Konsep pembangunan kota yang berkelanjutan hanya sebatas retorika. Ketidakmatangan perencanaan pembangunan yang notabene tak berkelanjutan mengakibatkan Jakarta krisis lingkungan dan menuju bunuh diri ekologis.

Ruang terbuka hijau merupakan pertarungan interpretasi, mendesak bagi kota Jakarta yang memiliki laju kerusakan lingkungan hidup begitu tinggi.

Di luar hasrat dan tuntutan untuk lebih cepat menggerak roda perekonomian, Ruang terbuka hijau merupakan pertarungan interpretasi Pemprov DKI Jakarta yang merupakan ibukota negara, pusat segala macam aktivitas masyarakat Indonesia.

Jakarta kini adalah contoh kota hasil intervensi beribu macam kepentingan sosial politik. Jakarta kini menjadi contoh kota hasil intervensi beribu macam kepentingan social politik. Pembangunan di setiap jengkal tanah Jakarta tidak pernah lepas dari hasil negosiasi politik antar elit. “You punya uang, I punya kuasa. Kita bisa baku atur” Begitu kira-kira gambaran transaksi politik pembangunan di Jakarta. Pembangunan di setiap jengkal tanah Jakarta tidak pernah lepas dari hasil negosiasi politik antar elit.

Mengapa pengelolaan RTH DKI Jakarta kurang berhasil, apakah karena ‘kreativitas’ korupsinya? Ataukah karena adanya hambatan dari sumber daya alamnya. Alternatif kebijakan apa yang dapat digunakan untuk mengatasai hambatan dalam pengelolaan RTH?. Apakah harus melakukan penggusuran - masyarakat miskin - atau tetap membiarkan pemilik modal, konsisten untuk membangun, dan biasanya cukup kebal dengan hukum.

Sudah saatnya para elit ekonomi politik Jakarta segera beradaptasi dengan kecenderungan bisnis yang lebih ramah lingkungan (hak publik), tidak hanya ditujukan pada satu tujuan bisnis semata, yaitu akumulasi keuntungan ekonomi.

Saat ini, suka atau tidak suka, sulit dilepaskan dari adanya keterdesakan kebutuhan akan ruang publik yang sedang diupayakan melalui optimalisasi ruang terbuka hijau (RTH), khususnya di Jakarta.

Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak menggunakan sumberdaya alam yang melebihi daya dukung alam itu sendiri. Mengingat kehidupan sebuah masyarakat yang demokratis, ruang publik sangat diperlukan, sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka publik diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya.

Sudah saatnya elit politik dan birokrasi pemerintahan dapat menahan "nafsu’" pengembangan DKI Jakarta tanpa memperhitungkan aspek ruang publik, hak ekosoc masyarakat, dan perencanaan yang lebih berpihak pada keselamatan ekosistem di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya secara terintegrasi dan komprehensif.

Jika aspek-aspek vital itu masih menjadi masalah yang belum dapat dicari solusinya, maka sangatlah bijaksana jika pemerintah daerah DKI Jakarta dan elite politiknya, dapat berpikir untuk melakukan evaluasi terhadap semua mega proyek pembangunan di Jakarta, dan pada saat yang sama dapat menghentikan atau menahan semua rencana pembangunan mega proyek yang tidak menampung kebutuhan RTH dan kemaslahatan manusia dan ekosistemnya.

Ir. Bernardus Djonoputro, Sekjen Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, menambahkan, pihaknya

akan memberikan sumbangsih kepada para pembuat kebijakan yakni para anggota DPRD Tk I 2009-2014 terpilih dengan Capacity Building tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar